Senin, 16 November 2009

Konsep Aqad Dalam Ekonomi Islam

A. HUBUNGAN USAHA MENURUT SYARIAH

Kegiatan usaha pada hakekatnya adalah kumpulan transaksi-transaksi ekonomi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. Menurut Ibnu Khaldun tingkatan kegiatan usaha manusia dimulai dari kegiatan usaha yang berkaitan dengan hasil sumber daya alam, misalnya pertanian, perikanan dan pertambangan. Tingkatan berikutnya adalah kegiatan yang berkaitan dengan hasil rekayasa manusia atas hasil sumber daya alam. Dilanjutkan dengan kegiatan perdagangan yang secara alami timbul akibat perbedaan penawaran-permintaan dari hasil sumber daya alam maupun hasil rekayasa manusia pada suatu tempat. Dan akhirnya adalah kegiatan usaha jasa yang timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya –yang oleh Ibnu Khaldun disebut sebagai kemewahan. Manusia mempunyai keterbatasan dalam berusaha, oleh karena itu –sesuai dengan fitrahnya- manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka. Kerjasama dalam usaha yang sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam:

• Kerjasama dalam kegiatan usaha, dalam hal ini salah satu pihak dapat menjadi pemberi pembiayaan dimana atas manfaat yang timbul dari pembiayaan tersebut dapat dilakukan bagi hasil. Kerjasama ini dapat berupa pembiayaan usaha 100% melalui ikatan atau aqad Mudharaba maupun pembiayaan usaha bersama melalui aqad Musyaraka.

•Kerjasama dalam perdagangan, dimana untuk meningkatkan perdagangan dapat diberikan fasilitas-fasilitas tertentu dalam pembayaran maupun penyerahan obyek. Karena pihak yang mendapat fasilitas akan memperoleh manfaat, maka pihak pemberi fasilitas berhak untuk mendapat bagi hasil (keuntungan) yang dapat berbentuk harga yang berbeda dengan harga tunai.

• Kerjasama dalam penyewaan aset dimana obyek transaksi adalah manfaat dari penggunaan aset.

B. PRINSIP AQAD EKONOMI SYARIAH

Kegiatan hubungan manusia dengan manusia (muamalah) dalam bidang ekonomi menurut Syariah harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dan menjadi dasar terjadinya sesuatu, yang secara bersama-sama akan mengakibatkan keabsahan. Rukun transaksi ekonomi Syariah adalah:

1. Adanya pihak-pihak yang melakukan transaksi, misalnya penjual dan pembeli, penyewa dan pemberi sewa, pemberi jasa dan penerima jasa.

2. Adanya barang (maal) atau jasa (amal) yang menjadi obyek transaksi.

3. Adanya kesepakatan bersama dalam bentuk kesepakatan menyerahkan (ijab) bersama dengan kesepakatan menerima (kabul).

Disamping itu harus pula dipenuhi syarat atau segala sesuatu yang keberadaannya menjadi pelengkap dari rukun yang bersangkutan. Contohnya syarat pihak yang melakukan transaksi adalah cakap hukum, syarat obyek transaksi adalah spesifik atau tertentu, jelas sifat-sifatnya, jelas ukurannya, bermanfaat dan jelas nilainya.

Obyek transaksi menurut Syariah dapat meliputi barang (maal) atau jasa, bahkan jasa dapat juga termasuk jasa dari pemanfaatan binatang. Pada prinsipnya obyek transaksi dapat dibedakan kedalam:

1. Obyek yang sudah pasti (ayn), yaitu obyek yang jelas keberadaannya atau dapat segera diperoleh manfaatnya. Lazimnya disebut real asset dan berbentuk barang atau jasa. 2. Obyek yang masih merupakan kewajiban (dayn), yaitu obyek yang timbul akibat suatu transaksi yang tidak tunai. Lazimnya disebut financial asset dan dapat berupa uang atau surat berharga. Aqad muamalah dalam bidang ekonomi menurut sifat partisipasi dari para pihak yang terlibat dalam transaksi secara prinsip dapat dibagi dalam:

1. Aqad pertukaran tetap, yang lazimnya adalah kegiatan perdagangan. Sesuai dengan sifatnya, aqad ini umumnya memberikan kepastian hasil bagi para pihak yang melakukan transaksi. 2. Aqad penggabungan atau pencampuran, yang lazimnya adalah kegiatan investasi. Aqad ini umumnya hanya memberikan kepastian dalam hubungan antar pihak dan jangka waktu dari hubungan tersebut, namun umumnya tidak dapat memberikan kepastian hasil. 3. Kegiatan penguasaan sementara, yang lazimnya adalah kegiatan sewa-menyewa. Aqad ini umumnya memberikan kepastian dalam manfaat yang diterima oleh para pihak. Sehingga dapat terjadi pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran antara ayn dengan ayn, ayn dengan dayn dan dayn dengan dayn. Hanya menurut fiqih muamalah transaksi antara dayn dengan dayn dilarang kecuali kegiatan penukaran uang atau logam mulia. Kegiatan muamalah dalam bidang ekonomi melalui pasar modal umumnya adalah kegiatan pertukaran tetap (perdagangan) dan kegiatan penggabungan atau pencampuran (investasi). Sementara itu, waktu pertukaran maupun penggabungan atau pencampuran dapat terjadi secara tunai atau seketika (naqdan)maupun secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan). Transaksi keuangan umumnya timbul akibat transaksi yang berlaku secara tidak tunai atau tangguh. Hanya menurut fiqih muamalah, dilarang atau tidak sah suatu transaksi dimana kedua belah pihak melakukan secara tidak tunai atau tangguh (ghairu naqdan dengan ghairu naqdan)

Dalam menerapkan aqad-aqad ini pada transaksi keuangan modern, Vogel dan Hayes mengatakan bahwa terdapat 4 prinsip dalam perikatan secara Syariah yang perlu diperhatikan, yaitu:

1. Tidak semua aqad bersifat mengikat kedua belah pihak (aqad lazim), karena ada kontrak yang hanya mengikat satu pihak (aqad Jaiz). 2. Dalam melaksanakan aqad harus dipertimbangkan tanggung jawab yang berkaitan dengan kepercayaan yang diberikan kepada pihak yang dianggap memenuhi syarat untuk memegang kepercayaan secara penuh (amin) dengan pihak yang masih perlu memenuhi kewajiban sebagai penjamin (dhamin). 3. Larangan mempertukarkan kewajiban (dayn) melalui transaksi penjualan sehingga menimbulkan kewajiban (dayn) baru atau yang disebut bay’ al dayn bi al dayn. 4. Aqad yang berbeda menurut tingkat kewajiban yang masih bersifat janji (wad) dengan tingkat kewajiban yang berupa sumpah (ahd).

C. AQAD MUDHARABA
Ikatan atau aqad Mudharaba pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran berupa hubungan kerjasama antara Pemilik Usaha dengan Pemilik Harta, dimana: • Pemilik Harta (Shahibul Maal atau Rab-al-Maal atau Malik) hanya menyediakan dana/modal/harta secara penuh (100%) dalam suatu aset atau kegiatan usaha tertentu dan tidak boleh ikut secara aktif dalam pengelolaan usaha. • Pemilik Usaha bertindak sebagai Mudharib / Amil dimana Pemilik Usaha memberikan jasa (amal) mengelola harta secara penuh (100%) dan mandiri (discretionary) dalam bentuk aset atau dalam kegiatan usaha tertentu • Bila Pemilik Usaha harus mengelola usaha dengan tata cara dan ketentuan yang telah disepakati bersama maka disebut Mudharabah Muqayyadah. • Bila Pemilik Harta telah memiliki kepercayaan penuh pada Pemilik Usaha dan memberi kebebasan kepada Pemilik Usaha dalam menentukan jenis usaha dana tata cara mengelola usaha maka disebut Mudharaba Mutlaqah. • Pemilik Harta dan Pemilik Usaha mempunyai kesepakatan dalam cara penentuan hasil usaha dimana secara umum hasil usaha berupa laba akan dibagi menurut nisbah dan waktu bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama. • Disepakati bahwa Resiko Usaha berupa kerugian menjadi tanggung jawab Pemilik Harta, namun bila ternyata Mudharib tidak amanah, maka Mudharib dapat diminta tanggung jawab atas kerugian yang timbul. . Bila biaya variabel dari kegiatan usaha disepakati merupakan biaya yang sulit diduga, maka Mudharib dapat mengadakan aqad jaiz untuk menanggung semua biaya tak terduga tersebut atau menentukan batas maksimum biaya variabel yang dapat dibebankan. • Dalam hal biaya variabel yang sulit diduga tersebut merupakan bagian terbesar dari biaya, maka ketentuan bagi hasil akan mendekati praktek bagi pendapatan. • Berbeda dengan kondisi penyertaan modal yang berlaku umum di Indonesia, dalam aqad Mudharaba Pemilik Harta berhak sewaktu-waktu menarik hartanya, namun Mudharib diberi waktu untuk mencairkan harta dari usahanya

E. AQAD MUSYARAKA
Ikatan atau aqad Musyaraka pada hakekatnya adalah ikatan penggabungan atau pencampuran antara para pihak yang bersama-sama menjadi Pemilik Usaha, dimana: • Para pihak bersama-sama memberikan kontribusi baik berupa modal, harta, pinjaman harta, tenaga dan waktu, sehingga tidak ada suatu pihakpun yang akan menjadi Pemilik Harta secara penuh (100%) maupun menjadi Mudarib. • Para pihak setuju untuk berhubungan dalam suatu kerjasama usaha tertentu dan dalam jangka waktu yang disepakati dimana setiap pihak dapat mengalihkan penyertaannya atau digantikan oleh pihak lain. • Penyertaan atau kontribusi dapat diberikan secara tunai (seketika) atau tidak tunai (tangguh), serta dapat berupa barang (maal) atau jasa (amal) termasuk goodwill. • Penilaian atas penyertaan atau kontribusi yang diberikan oleh para pihak umumnya dilakukan dengan harga pasar, dalam hal ini uang lazim dipakai sebagai alat ukur nilai. • Pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan para pihak dimana umumnya merupakan fungsi dari jumlah kontribusi yang diberikan oleh masing-masing pihak yang terlibat. • Kerjasama usaha dapat berakhir apabila ada beberapa pihak meninggal atau mengundurkan diri.

F. AQAD PERDAGANGAN

Aqad Fasilitas Perdagangan, perjanjian pertukaran yang bersifat keuangan atas suatu transaksi jual-beli dimana salah satu pihak memberikan fasilitas penundaan pembayaran atau penyerahan obyek sehingga pembayaran atau penyerahan tersebut tidak dilakukan secara tunai atau seketika pada saat transaksi. Karakteristik fasilitas perdagangan adalah sebagai berikut: o Para pihak mendapat manfaat dari transaksi jual-beli yang dilakukan berdasarkan mekanisme pasar. § Dalam hal fasilitas penundaan berupa penundaan pembayaran, maka bentuk, besar dan waktu pembayaran harus ditentukan secara pasti, sedangkan dalam hal fasilitas berupa penundaan penyerahan maka kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan dari obyek transaksi harus ditentukan secara pasti. § Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan pembayaran atas penyerahan barang atau jasa (obyek transaksi) yang dilakukan secara seketika dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan pembayaran (Murabaha). § Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (obyek transaksi) yang sudah dipastikan keberadaannya atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay Salam). § Fasilitas penundaan dapat berupa penundaan penyerahan barang atau jasa (obyek transaksi) yang akan diadakan menurut pesanan atas pembayaran secara tunai dimana transaksi tersebut akan menimbulkan manfaat pada pihak yang menerima fasilitas penundaan penyerahan (Bay Istishna’). § Hasil (manfaat) yang timbul dibagi bersama oleh pihak yang menerima manfaat kepada pihak yang memberikan fasilitas. § Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan pembayaran dapat berupa marjin (penambahan) atas harga transaksi secara tunai pada aqad Murabaha (asal kata ribhu, yang berarti keuntungan). § Hasil (manfaat) yang diterima oleh pihak yang memberikan fasilitas penundaan penyerahan obyek transaksi dapat berupa marjin (penambahan) atas perkiraan harga jual obyek transaksi pada saat penyerahan. § Akibat penundaan pembayaran atau penyerahan obyek transaksi tersebut timbul kewajiban dengan nilai tertentu yang harus dipenuhi di masa mendatang. § Pembayaran atas harga obyek transaksi dapat disepakati dalam bentuk cicilan.

G. AQAD IJARA
Aqad Ijara, adalah aqad pemberian hak untuk memanfaatkan Obyek melalui penguasaan sementara atau peminjaman Obyek dgn Manfaat tertentu dengan membayar imbalan kepada pemilik Obyek. Ijara mirip dengan leasing namun tidak sepenuhnya sama dengan leasing, karena Ijara dilandasi adanya perpindahan manfaat tetapi tidak terjadi perpindahan kepemilikan. Ketentuan umum aqad Ijara adalah sebagai berikut:

• [Berbeda dengan leasing], disamping dapat berupa suatu barang (harta fisik yang bergerak, tak bergerak, harta perdagangan), obyek dapat pula berupa jasa (amal) yang diberikan oleh manusia atau binatang. • Obyek, Manfaat yang dipinjamkan dan Nilai Manfaat harus diketahui dan disepakati terlebih dahulu oleh para pihak. • Ruang lingkup pemakaian obyek dan jangka waktu pemakaiannya harus dinyatakan secara spesifik. • Atas pemakaian obyek, Pemakai Manfaat (Penyewa) harus membagi hasil manfaat yang diperolehnya dalam bentuk imbalan sewa/upah (akar kata Ijara berarti upah). • [Berbeda dengan leasing], secara umum cara pembayaran sewa ditentukan menurut kinerja dari obyek, namun dalam hal Pemakai Manfaat (Penyewa) yakin akan kinerja dari obyek maka pembayaran sewa dapat ditentukan menurut waktu pemakaian [sehingga mirip dengan leasing]. • Pemakai Manfaat (Penyewa) wajib menjaga obyek ijara agar manfaat yang dapat diberikan oleh obyek tersebut tetap terjaga. • Pemberi Sewa haruslah pemilik mutlak, agen dari pemilik mutlak, penjaga secara alami atau legal dari obyek. • Pemberi Sewa (Pemilik Obyek Ijara) dapat mengadakan aqad jaiz untuk menjual atau menghibahkan obyek ijara kepada Pemakai Manfaat (Penyewa) menurut ketentuan tertentu pada akhir dari masa sewa. • Dilarang mengadakan aqad Ijara dan aqad Jual-Beli secara sekaligus pada waktu yang sama karena akan menimbulkan keraguan akan keberlakuan aqad (gharar).

Sumber : www.fossei.org

Mewujudkan Kesejahteraan dengan Menerapkan Ekonomi Islam


Oleh Muizzuddin (Mahasiswa Berprestasi UNSRI 2009)


Sistem ekonomi yang diterapkan, seharusnya mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat berdasarkan asas demokrasi, kebersamaan, dan kekeluargaan yang melekat, serta pada akhirnya mewujudkan ketentraman bagi manusia. Akan tetapi Rentetan peristiwa akibat sistem ekonomi yang diterapkan terus memberikan dampaknya.

Peristiwa demi peristiwa terjadi memberikan gambaran tentang kekuatan suatu sistem dalam membangun kesejahteraan, di sistem kapitalis sering terdengar para buruh mengadakan demonstrasi agar sistem kontrak kerja yang diberlakukan di perusahaan dihapuskan, karyawan meminta kenaikan gaji, mendorong para manajemen perusahaan untuk membayarkan uang THR, lembur atau jenis-jenis pembayaran yang lain. itulah selintas peristiwa yang sering ditemukan pada suatu negara yang menerapkan sistem ini.

Sebaliknya, contoh kasus sistem ekonomi yang lain seperti negara Uni Soviet mencoba menerapkan sistem ekonomi sosialis yang dicetuskan Karl Marx dalam bukunya, Das Kapital, atas ketidaksetujuan terhadap sistem kapitalis. Pemerintahannya mengusahakan pemerataan ekonomi penduduk dengan menguasai dan mengontrol semua sumber daya alam, industri-industri penting, perbankan, dan sarana publik. Tujuan akhir dari sistem ini adalah kesejahteraan yang merata dalam masyarakat tanpa ada hirarki kelas sosial. Namun, sebelum cita-cita tersebut tercapai, sistem sosialis runtuh karena perselisihan antar pimpinan dan korupsi di dalam tubuh pemerintah itu sendiri. Dengan kata lain, sistem ini belum berhasil memeratakan kesejahteraan rakyat malah memperburuk rakyat ke dalam kemiskinan, hal ini dapat terjadi karena dominasi pemerintah yang berlebihan yang membuat roda perekonomian tidak berkembang.

Lantas, sistem ekonomi bagaimanakah yang mampu menciptakan kesejahteraan,. Adam Smith, penggagas sistem ekonomi kapitalis, memberikan catatan bahwa “dunia yang paling baik adalah dunia tanpa bunga”. Maka memakai sistem ekonomi yang berdasarkan “konsep bunga” dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi hanya akan memperpanjang masalah yang ada.

Di sinilah, Islam tepatnya sistem ekonomi Islam memiliki peluang untuk kembali tampil memberikan solusi terhadap permasalahan ekonomi yang ada, karena dalam prinsip ekonomi islam tidak mengenal sistem “bunga-atau kebebasan tanpa arah” dan juga “dominasi yang berlebih”.


Mewujudkan Kesejahteraan

Kesejahteraan yang dimaksud dalam tulisan ini menggunakan konsep maqasid al-syariah (tujuan syariah). Imam Al Ghazali yang menyatakan bahwa manusia dikatakan sejahtera bila dapat memenuhi kebutuhan agamanya (dien), jiwanya (nafs), akal (aql), keturunan (nasl) dan harta (maal).

Sejarah telah terukir dengan indah bahwa keberhasilan sistem ekonomi Islam dengan penerapan instrumen yang ada seperti zakat dan wakaf serta jenis pendapatan negara lainnya bukanlah angan belaka. Masa Kekhalifahan Umar bin Khattab dan Umar Bin Abdul Aziz menjadi bukti kongret aplikasi Islam dalam perekonomian. Pada masa ini tidak terjadi lagi kemiskinan. Sejarah kedua kepemimpinan telah membuktikan bahwa sistem ekonomi Islam mampu menciptakan kesejahteraan.

Tulisan ini hadir untuk menganalisis aspek historis kesuksesan Kepemimpinn Islam dalam bidang ekonomi. Tulisan juga mencari celah kemungkinan untuk mewujudkan kembali kesejahteraan umat manusia dengan pengaplikasian sistem ekonomi Islam dengan optimalisasi instrumen ekonomi islam. Dunia pun akan segera mengetahui bagaimana kesejahteraan masyarakat dapat meningkat, dan kesenjangan, serta kecemburuan sosial dapat diredam. Sistem ekonomi Islam akan membimbing umat manusia menuju kemakmuran (hayat thoyyibah).

Ada beberapa instrumen yang dapat dioptimalkan dalam menyongsong kesejahteraan umat, yaitu Zakat Infaq Sadaqah dan Wakaf (ZISWAF), lembaga-lembaga pengawas pasar (al-hisbah), dan lembaga keuangan Islam. Dalam rangka membantu mengatasi masalah kemiskinan dan ketidakadilan diperlukan kebijakan yang bertujuan mengurangi konsentrasi kepemilikan, instrumen Ekonomi Islam yang paling fundamental berkenaan dengan kebijakan ini antara lain; konsep zakat, infaq, sedekah dan wakaf (ziskaf), dan waris yang telah lama dilalaikan oleh umat maupun pemerintah, sudah waktunya untuk dibangkitkan dan dihidupkan kembali. Kebijakan lain yang relevan untuk tujuan ini antara lain; pengembangan industri kecil menengah, reformasi pertanahan, pengembangan pedesaan, dan sinergisasi pengembang UKM dengan institusi keuangn syari’ah.

Dengan optimalnya penerapan sistem ini dan terintegrasinya dengan baik pelaksanaannya, maka sangat mungkin sejarah emas kesejahteraan Islam pada zaman Rasul dan sahabat dapat kembali dicapai, dan penerapan ini akan mampu terlaksana jika adanya sinergi seluruh pihak, baik pemerintah (umara’), ulama’ dan masyarakat ammah.

BMT Semakin Diminati Masyarakat

By Republika Newsroom
Jumat, 06 November 2009
JAKARTA--Aksesibili tas masyarakat terhadap BMT kian tinggi. Hal tersebut terlihat dari angka yang pertumbuhan baik dari sisi simpanan maupun pembiayaan BMT yang terus tumbuh setiap tahunnya.

Direktur Eksekutif BMT Center, Ahmad Sumiyanto mengatakan dalam penelitian yang dilakukan BMT Center terhadap sampel 50 anggotanya menunjukkan jumlah anggota pembiayaan yang meningkat per tahunnya, ditambah dengan nilai portofolio yang relatif kecil memperlihatkan tingginya aksesibilitas masyarakat.

“Akses terhadap lembaga keuangan akan mempercepat transaksi-transaksi , sehingga menjadikan pertumbuhan ekonomi di daerah akan meningkat,” kata Sumiyanto, Jumat (6/11).

Pemberian akses bagi pengusaha mikro terhadap lembaga keuangan, tambahnya, merupakan salah satu upaya untuk menuju distribusi ekonomi yang lebih merata dan berkeadilan. Seperti ditunjukkan oleh data yang ada pemberian pembiayaan kepada pengusaha mikro selalu lebih kecil dibandingkan dengan pengusaha kecil, menengah maupun besar.

“Dari penelitian ini diharapkan akan menjadi Policy Brief bagi pemerintah untuk menentukan haluan kebijakannya dalam pemberian akses bagi pengusaha mikro terutama dengan menggunakan pola syariah,” tandas Sumiyanto.

CEO Permodalan BMT Ventura yang juga menjadi salah satu peneliti mengatakan penelitian yang dilakukan kepada 50 anggota BMT Center di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, dan Jawa Timur ini menggunakan data dari tahun 2005 hingga 2008.

Dari data yang ada BMT mampu menyalurkan pembiayaan kepada pengusaha mikro dengan jumlah pembiayaan per anggota pada tahun 2005 sebesar Rp 1,13 juta per portofolio pembiayaan; pada 2006 sebesar Rp 1,16 juta per portofolio pembiayaan; 2007 sebesar Rp 1,94 juta per portofolio pembiayaan dan pada tahun 2008 sebesar Rp 2,68 juta per portofolio pembiayaan. “Hal ini menunjukkan bahwa BMT mampu menyentuh pengusaha mikro,” kata Saat.

Dari sisi banyaknya yang menerima manfaat, jumlah anggota yang mendapatkan pembiayaan pun sangat besar yaitu pada tahun 2005 tercatat 259.850 anggota, pada tahun 2006 tercatat 281.811 anggota tahun 2007 tercatat 313.225 anggota dan pada tahun 2008 sebanyak 396.150 anggota

Adanya penelitian tersebut, lanjut Saat, memungkinkan terbentuknya model bagi lembaga keuangan mikro berbasis syariah yang dapat digunakan sebagai suatu sarana untuk mereduksi kemiskinan. Hal tersebut, jelasnya, dapat dilakukan dengan cara melakukan pembinaan dan pengembangan kapasitas diri dan usaha dari masyarakat miskin akan tetapi aktif secara ekonomi gie/ahi

Eropa Menuju Syariah ?

dakwatuna.com - Sebuah majalah ekonomi terbesar di Eropa mengajak negara-negara sekular -negara yang memisahkan antara agama dari kehidupan- untuk menerapkan syari’ah Islam dalam bidang ekonomi sebagai solusi manjur dalam menepis dampak dari sistem Kapitalis yang berpangku pada spekulasi pasar dan bisnis yang tidak riil.

Lebih berani dan tegas lagi, Rolan Laskin, Pemimpin Majalah “Jurnal Finansial” itu dalam pembukaannya di edisi minggu tersebut mengungkapkan mendesaknya penerapan syari’ah Islam di bidang ekonomi dan keuangan, untuk mensudahi krisis yanng menghantui dunia karena permainan spekulasi yang tidak riil dan tidak dibenarkan.

Laskin memaparkan dalam tulisannya: “Kehancuran yang digali oleh sistem Kapitalis, dan mendesaknya pembahasan terhadap alternatif pengganti untuk menyelamatkan krisis. Dengan lugas ia menawarkan runtutan dan tahapan penerapan syari’ah Islam, meskipun langkah ini tidak sesuai dengan tradisi dan keyakinan agama di Eropa.”

Semenjak beberapa tahun sebelumnya para pemikir dan pelaku ekonomi di Barat sudah memberi warning akan bahayanya sistem Kapitalis liberal yang bertumpu pada spekulasi dan bukan bisnis riil. Mereka sudah menyerukan adanya kajian dan pemahasan solusi pengganti dari sistem itu, dan ternyata solusi itu ada pada Islam! Allahu Akbar walillahil hamd.

Bagaimana para penulis dan pemerhati di Eropa menilai secara obyektif dalam rangka beralih ke hukum-hukum syari’ah Islam dalam bidang Ekonomi? Dan apakah ini merupakan keseriusan cara pandang ekonomi Eropa dalam menangani krisis selama ini? Kita tunggu keberanian mereka membuktikan statemen mereka sendiri. (it/ut)
Sumber: http://www.dakwatuna.com

Jerman Membuka Diri Bagi Keuangan Syariah



By Republika Newsroom
Selasa, 03 November 2009
FRANKFURT--Industri keuangan syariah kian menarik hati negara Barat. Setelah Inggris dan Prancis berkeinginan mengukuhkan dirinya sebagai pusat keuangan syariah di benua biru, kini giliran Jerman yang ingin menyatakan hal serupa.

Keinginan tersebut bukannya tak beralasan. Banyaknya investor-investor muslim yang menyatakan ketertarikannya untuk berinvestasi di Jerman membuat pimpinan regulator keuangan Jerman berkeinginan menciptakan pasar bagi produk keuangan yang sesuai dengan prinsip syariah. “Kami melihat minat investor dari negara-negara Islam begitu besar untuk investasi sesuai dengan prinsip Islam di Jerman,” kata Presiden Bafin, Jochen Sanio.

Dalam perhelatan konferensi keuangan Islam di Frankfurt akhir Oktober lalu, Sanio mengutarakan saat ini pemerintah Jerman juga memberikan kemudahan izin bagi lembaga keuangan yang ingin menjual produk keuangan syariah. “Kami harap dapat segera melihat satu lembaga keuangan yang akan segera mulai menawarkan produk syariah,” kata Sanio.

Walau hingga kini belum ada lembaga keuangan Jerman yang merespon hal tersebut, tetapi populasi muslim sebanyak 4,3 juta jiwa yang sebagian besar berasal daari Turki ini merupakan potensi pasar yang besar. Dengan jumlah populasi muslim tersebut, tambah Sanio, Jerman memiliki potensi terbesar dibanding negara-negara lainnya di Eropa.

Industri keuangan syariah sendiri telah menjadi pasar yang terus tumbuh di banyak negara di Eropa, terutama Inggris. Prancis pun saat ini tengah mencoba memposisikan dirinya sebagai pusat keuangan syariah.

Lembaga keuangan asal Jerman seperti Deutsche Bank dan Allianz telah menawarkan produk syariah di sejumlah negara-negara muslim, termasuk di antaranya di Indonesia. Asuransi syariah Allianz di tanah air juga mencatat kinerja cukup memuaskan. Di semester pertama 2009 pendapatan premi bruto divisi syariah Allianz Life sebesar Rp 86 miliar, sementara Allianz Utama Rp 5,62 miliar.

Hingga akhir tahun divisi syariah Allianz Life menargetkan premi sebesar Rp 350 miliar-Rp 400 miliar dan Allianz Utama Rp 18 miliar. Dalam mendukung divisi asuransi syariahnya Allianz sekarang memiliki agen bersertifikasi syariah sebanyak 4100 agen. Jumlah tersebut bertambah dari tahun lalu yang berjumlah 3028 orang dan pada 2007 yang sebanyak 2828 orang.

Sebelumnya pada September lalu, Kuwait Finance House di Turki telah memperoleh izin dari pemerintah Jerman untuk membuka kantor cabang syariah di Mannheim. Dengan izin tersebut Kuwait Finance House dapat menyediakan layanan keuangan syariah bagi nasabah di Jerman yang ingin menggunakan produk berbasis syariah.

Kuwait Finance House yang berdiri sejak 1977 menjadi pionir perbankan syariah di Kuwait. Sejak itu bank tersebut terus mengembangkan sayapnya dengan beroperasi di sejumlah negara di Timur Tengah juga Asia, seperti Bahrain, Turki dan Malaysia.Industri keuangan syariah yang dimulai sejak era 1960an mulai berkembang pesat di pertengahan 1990an. Setidaknya kini industri tersebut mengelola aset sebesar 700 miliar dolar AS dengan pertumbuhan 15-20 persen per tahun. rtr/gie/kpo